Hanya dengan Rp 20 ribu, Anda bisa membawa pulang tiga kaos trendi. Inilah salah satu keunggulan kawasan perdagangan di Gede Bage, Bandung.
Banyak orang menganggap Bandung surga untuk berbelanja. Ada benarnya memang. Pasalnya, cukup banyak pilihan lokasi berbelanja di Kota Kembang ini. Masing-masing juga punya ciri khas dan segmen pasar tersendiri. Salah satunya adalah pusat penjualan barang impor Cimoll Centre, di kawasan Gede Bage, Bandung Timur.
Para pemburu barang-barang impor berkualitas berharga miring, memang tak asing dengan kawasan Gede Bage ini. Apalagi, barang yang ditawarkan cukup bervariasi, mulai dari kaos, hem, celana panjang, celana pendek, pakaian dalam, jaket kulit, jaket parasut, jas, bed cover, karpet, permadani, tas, topi, sepatu dan lainnya.
Semuanya diimpor dari mancanegara seperti, Korea, Jepang, Cina, Thailand, Hongkong, Italia, Amerika Serikat, Australia, India dan Bangladesh.
Sebenarnya, Gede Bage bukan lokasi pertama tempat mangkalnya para pedagang barang-barang impor di kota yang juga disebut sebagai Paris van Java ini. Kelompok pedagang ini mulai muncul dan menjual produk impor di Pasar Baru, pada tahun 1996. Saat itu, pedagang yang aktif berjualan sekitar 50-100 orang.
Antara 1997-1999 para pedagang berpindah lokasi ke Jl Cibadak. Selama berjualan di kawasan inilah, mulai dikenal istilah “Cimoll,” singkatan dari Cibadak Mall. Saat itu, pedagang yang terlibat mencapai 1200 orang. Antara 1999–2001, jumlah pedagang yang terlibat meningkat menjadi 1500 orang.
Agar bisa menampung jumlah pedagang yang terus meningkat ini, lokasinya pindah ke kawasan Kebon Kelapa.
Dengan alasan yang sama, karena jumlah pedagang terus membengkak mencapai 2000 orang, lokasi usaha kembali pindah ke kawasan Tegal Lega. Di kawasan ini aktivitas perdagangan berlangsung antara 2001–2004.
Sejak Agustus 2004 sampai sekarang, para pedagang ini menempati lokasi baru di kawasan Gede Bage, Bandung Timur. Saat ini, pedagang yang terlibat mencapai 3000 hingga 3500 orang.
Meski pertumbuhan pusat perbelanjaan modern dan Factory Outlet (FO) dalam beberapa tahun terakhir semarak, keberadaan pedagang barang impor di Gede Bage ini tak juga lekang diterjang zaman.
Di akhir pekan, pembeli di Cimoll Centre selalu ramai, seperti halnya pengunjung di FO yang tersebar di kawasan Ciampelas.
Mamar Rhamdani (24), seorang penjual celana panjang menuturkan, berjualan barang seperti ini memang potensial memperoleh keuntungan besar, tergantung dari barang yang dibelinya. Jika dalam satu bal lebih banyak barang yang kualitasnya baik, keuntungan yang diraih cukup besar.
Tapi, jika dalam satu bal banyak yang rusak, ia menyiasati dengan beberapa cara agar bisa menutup modal.
Menurut Rhamdani, untuk memperoleh keuntungan optimal, pedagang ini kawasan ini selalu menyortir barang dagangannya sebelum dijual. Contohnya, dalam satu bal biasanya ada 250-300 potong celana. Untuk yang berbahan katun dibeli seharga Rp 1,2 juta. Yang dicampur celana jeans Rp 1,6 juta.
”Jika yang bagus ada 150 potong, harga jualnya hanya Rp 15-20 ribu per potong. Yang cacat dijual antara Rp 5.000-10.000 per potong. Itu pun jika laku. Jika tak laku itu risiko,” paparnya.
Keuntungan yang diperoleh pun cukup besar. Rhamdani mengaku, per potong bisa menghasilkan utung antara Rp 5-10 ribu. Tak heran, dalam sebulan ia bisa meraih omzet antara Rp 2,5–5 juta.
”Omzet penjualan cukup besar biasanya terjadi pada Sabtu, Ahad dan hari libur,” tutur pria tinggal di Jl Pagarsih, Bandung ini.
Agus Mardial (45), pria asal Bukit Tinggi yang berjualan jas bersama sang istri juga menuturkan hal senada. Menurutnya, satu bal jas stelan komplit harga belinya sekitar Rp 3-4 juta. Di dalamnya terdapat sekitar 80 setel. Satu bal untuk jas saja dibeli seharga Rp 2-2,5 juta dengan isi sekitar 140 potong. Dari jumlah itu, rata-rata 15-20 persennya rusak.
Agus menjual setelan jas lengkap (atas bawah) antara Rp 150–200 ribu per stel. Untuk jasnya saja seharga Rp 100-125 ribu per jas. Sedangkan yang cacat, untuk stelan dijual antara Rp 50-75 ribu per stelan dan jasnya Rp 25-40 ribu per jas. Untuk celana cacat dijual Rp 10–20 ribu per celana.
”Omzet dalam sebulan antara Rp 30-60 juta, keuntungannya sekitar 10–20 persen,” jelas salah satu pedagang yang telah berdagang sejak di kawasan Pasar Baru ini.
Sementara itu, Deni Sugandi (42) yang berjualan topi mengatakan, modal membeli satu bal topi Rp 1,6 juta. Di dalamnya beriisi 350 potong topi, mulai dari topi bayi, anak, remaja sampai dewasa. Ia menjual dengan harga bervariasi. Untuk topi bayi dijual Rp 10 ribu per tiga potong. Topi anak Rp 10-20 ribu per topi. Topi remaja paling murah Rp 20 ribu per topi.
Yang paling tinggi adalah topi laken, mencapai Rp 150 ribu per topi. ”Omzet per bulan sekitar Rp 5-6 juta,” ujar mantan karyawan sebuah perusahaan percetakan ini.
Selain menguntungkan pedagang, keberadaan pusat perdagangan produk impor ini juga menguntungkan para pembeli, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Riksa Esha (16), pelajar SMKN 6 Kota Bandung saat berbelanja menuturkan, ia belanja di kawasan ini karena harganya miring dan terjangkau kantongnya.
”Hanya dengan Rp 20 ribu, saya bisa membawa kaos trendi tiga potong. Jika saya beli di FO, mana dapat Rp 20 ribu,” tandasnya.
Didin (40), pembeli lain yang ditemui Sabili juga mengatakan hal serupa. Bahkan, ia rutin berbelanja di kawasan ini seminggu sekali untuk dijual lagi.
“Begini Mas, orang seperti saya uangnya nggak banyak. Kalau belanja di sini lumayan dapat barang bagus. Kalau ada teman yang suka, biasanya saya jual lagi. Untungnya bisa dua sampai tiga kali lipat dari harga pembelian,” jelasnya bersemangat.
Meski begitu, Didin berpesan pada pembeli yang baru pertama kali berbelanja di kawasan ini. Agar memperoleh barang berkualitas dengan harga murah, pembeli harus teliti saat membeli, sabar dalam menawar dan tidak terburu-buru dalam memilih produk.
”Asal sabar dalam memilih dan menawar, siapa pun yang belanja akan mendapatkan barang yang diinginkan dan tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam,” sarannya.
Sayangnya, para pedagang yang ditemui Sabili umumnya masih mengeluhkan beberapa hal.
Pertama, susahnya pasokan barang untuk pedagang. Dalam sebulan hanya dikirim satu kali, padahal counter sering kekurangan stok barang.
Kedua, pedagang masih harus menanggung cost cukup besar untuk membayar kontrak lapak Rp 300 ribu per bulan dan iuran tambahan sebesar Rp 30 ribu per bulan.
Ketiga, lahan parkir yang tersedia terbatas sehingga saat akhir pekan atau hari liburan kendaraan pembeli tak tertampung.
Keempat, kawasan Gede Bage jauh dari pusat kota sehingga warga di pusat kota enggan belanja ke kawasan ini. Yang lebih banyak berbelanja justru pembeli dari luar kota.
Kelima, permodalan para pedagang umumnya pas-pasan, sehingga masih memerlukan suntikan modal dari perbankan setempat atau pemerintah daerah.
Tapi, bagi pedagang yang sudah terjun dalam bisnis ini tak patah arang menghadapinya. Bagi mereka, yang penting adalah berusaha untuk bisa bertahan dalam kondisi apa pun.
Mamar, Agus dan Deni hanya potret kecil dari pedagang produk impor yang berusaha keras merengkuh keuntungan untuk meningkatkan kualitas hidupnya, keluarga dan masyarakat di sekitar
http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186:produk-impor-tak-selalu-mahal&catid=86:tijarah&Itemid=285
Tidak ada komentar:
Posting Komentar